Dialek Toraja ? Why not ?

Pandangan negatif tentang dialek Toraja sungguh sebuah kekeliruan. Sering dijadikan bahan ketawaan, sering dianggap kolot dan bahkan sering pula dianggap kampungan dan terbelakang.
Dialek sebuah daerah sendiri muncul dari keberadaan sebuah bahasa yang dipakai dalam sebuah wilayah tertentu.
Pada saat seorang memakai sebuah bahasa yang lain dari bahasa yang sering dipakainya maka unsur bahasa yang dia sudah sering gunakan akan terbawa walapun dia sudah secara penuh menggunakan bahasa yang baru tersebut.
Jika seseorang sering menggunakan bahasa Toraja maka pada saat dia masuk ke sebuah lingkungan yang memaksanya untuk berbahasa Indonesia misalnya, maka unsur bahasa Toraja itu akan terbawa dalam setiap kata yang diucapkannya. Hal yang sama juga akan terjadi pada setiap pemakai bahasa daerah lainnya dan akan perlahan-lahan menghilang untuk jangka waktu tertentu bahkan mungkin tidak bisa menghilang lagi.
Sebuah hal yang wajar dan sekaligus sebagai bukti bahwa pengguna bahasa Toraja itu masih eksis. Dialek ibarat asap dan bahasa adalah apinya. Kalau ada asap berarti ada apinya.
Kelestarian akan bahasa dan sastra Toraja pun cukup mengkuatirkan karena semakin berkurangnya pemakai bahasa tersebut oleh generasi-generasi baru dan semakin meningkatnya interaksi antara masyarakat Toraja dengan daerah lainnya.
Memang sebuah hal yang tidak bisa dihindari sebagaimana juga terjadi di tempat-tempat lain. Dan kita juga tidak bisa memaksakan sebuah kehendak untuk menggunakan bahasa Toraja.
Satu hal yang harus kita sadari bahwa bahasa adalah bagian yang sangat penting dari sebuah budaya. Sebuah unsur yang sangat penting. Sedangkan budaya adalah sesuatu yang wajib dilestarikan.
Sepengetahuan saya belum ada satu pun lembaga pendidikan tinggi yang "berani" membuka jurusan Sastra Toraja, sekalipun lembaga itu sendiri berlabel Toraja.