1

Showing posts with label budaya. Show all posts
Showing posts with label budaya. Show all posts

Tuesday, April 14, 2015

Upacara Kematian di Toraja (antara Tradisi dan Ritual)


Upacara kematian (rambu solo') di Toraja, Sulawesi dengan memotong kerbau dan babi dalam jumlah yang melewati batas wajar sebenarnya sudah keluar dari kaidah aluk to dolo, aliran kepercayaan di Toraja yang adalah pemilik asli upacara rambu solo'.

Walaupun bisa dipahami kalau pemeluk agama modern tidak tunduk lagi di bawah kaidah aluk to dolo  namun sebagai tradisi yang diwariskan dari aluk to dolo maka kaidah asli rambu solo' akan besar kecilnya pesta seharusnya menjadi pertimbangan serius saat para penganut agama modern mencoba mempertahankan rambu solo' sebagai tradisi, bukan sebagai ritual.

Rambu solo' adalah ritual bagi aluk to dolo. Pemotongan sejumlah kerbau dan babi merupakan puncak dari ritual untuk menghantar arwah dari yang telah meninggal ke puya, surga dalam versi aluk to dolo. 

Sehingga jika pemeluk agama modern melakukan pemotongan hewan dengan menyelenggarakan pesta maka dipastikan kalau penyembelihan hewan tersebut  bukan sebagai korban penghantar sang arwah ke puya tetapi hanya untuk dikonsumsi oleh kerabat yang datang melayat (tongkon). Saya lebih suka menyebutnya cukup dengan istilah yang mungkin lebih tepat yakni : Pesta orang mati karena istilah rambu solo' mengandung makna ritual penganut kepercayaan aluk to dolo.

Rambu dalam bahasa Toraja selain berarti asap dalam bahasa sehari hari juga bermakna persembahan. Rambu solo' secara harafiah adalah asap turun. Sedangkan rambu tuka' adalah asap naik yakni upacara yang mengandung unsur kegembiraan dan kesukaan seperti acara pernikahan dan pentabisan rumah Tongkonan. Perbandingan dari dua upacara ini menandakan betapa rambu solo' adalah sebenarnya murni kesedihan. 

Perbedaan makna dari pesta orang mati zaman modern dengan ritual rambu solo' aluk to dolo inilah yang selalu menjadi polemik dalam realita kehidupan masyarakat Toraja. Rambu solo' aluk to dolo diatur kuat oleh kaidah ritual sedangkan pesta orang mati zaman modern terlepas dari aturan tersebut. Pesta orang mati zaman modern tidak diikat oleh kaidah mendasar.  Bahkan yang muncul adalah perdebatan masih perlu tidaknya upacara tersebut diselenggarakan. Hal ini tampak dari munculnya perbedaan pandangan dalam gereja gereja aliran Protestan. Sebagian gereja menolak keras, sebagian masih toleran dan sebagian lagi tetap melangsungkannya.

Pesta orang mati zaman modern yang tidak terikat oleh kaidah aluk to dolo tersebut perlahan telah menemukan tradisinya tersendiri. Tradisi baru mulai perlahan terbangun seiring dengan semakin bertambahnya pemeluk agama modern di Toraja  yang dimulai oleh masuknya Injil 100 tahun silam. Tradisi tersebut kini dilanjutkan bahkan diturunkan ke generasi berikutnya yang semakin tidak mengenal kepercayaan aluk to dolo. Nyanyian duka badong hanyalah formalitas dan bumbu pesta tanpa mempersoalkan doa doa apakah yang sedang diucapkan dalam badong tersebut. Sementara kesedihan dan air mata hanya akan tampak di hari penguburan setelah melewati pesta beberapa hari. 

Tradisi pesta raksasa modern ini semakin menemukan ruangnya tersendiri di saat tingkat kekuatan ekonomi masyarakat mengalami pergeseran. Kesadaran akan pentingnya pendidikan dan pekerjaan, serta tradisi merantau orang Toraja melahirkan banyak orang orang yang kuat secara ekonomi yang mampu menyelenggarakan pesta berskala besar. Pemotongan sejumlah hewan yang menjadi ukuran besar kecilnya sebuah pesta sangat ditentukan oleh kekuatan dana sang pemilik pesta di mana bantuan langsung dalam hitungan sejumlah kerbau dan babi akan mengalir pula mendatangi pesta sebagai bantuan balasan pada yang meninggal yang giat membantu upacara upacara adat teman dan kerabatnya semasa hidupnya.

Dalam kaidah aluk to dolo, rambu solo' dengan tingkatan tertinggi adalah sapu randanan. Jumlah kerbau yang disembelih dalam upacara sapu randanan adalah minimal 24 ekor di mana penentuan kategori upacara didasari oleh status sosial dari yang meninggal. Satu tingkat di bawah sapu randanan adalah ba'tan tallang. Ba'tan tallang adalah rambu solo' dengan menyembelih minimal 7 ekor kerbau. Ada pula rambu solo' yang hanya menyembelih beberapa ekor babi. Dan yang paling kecil adalah pessiliran. Pessiliran adalah penguburan bayi di batang pohon yang hidup. 

Informasi yang saya berikan sebenarnya sangat minim namun setidaknya bisa memberi sedikit gambaran sebagai perbandingan dengan pesta orang mati modern yang menyembelih hingga ratusan ekor kerbau dengan lebih didasari oleh kemampuan ekonomi.

Sunday, May 4, 2014

Stupa Borobudur

Stupa Borobudur
Landing di Bandara Adisucipto Jogjakarta, meluncur ke Plaza Ambarukmo dan cek in di Jl. Dagen dan berjalan kaki sejenak menyusuri Malioboro serasa cukup menjadi kenangan di hari pertama menginjak Jogjakarta kembali. Dialek Jogja yang adem di telinga dari mulut sopir taksi, satpam, resepsionis, tukang becak hingga para pedagang di sisi Malioboro seakan membuat kota ini berbicara, inilah Jogja, rasakan keramahannya.

Menyusuri Jalan Malioboro dengan jalan kaki dalam kondisi padat oleh penjual dan pembeli, penawaran barang dan transaksi terus berlangsung namun tidak terkesan gaduh. Nyaris tak ada teriakan teriakan lantang apalagi keras, namun komunikasi di pusat perbelanjaan yang sangat ramai itu tetap berjalan. 

Di sepanjang Malioboro kita dengan mudah menemukan para penjual jasa paket perjalanan ke objek wisata. Sepertinya masyarakat Jogjakarta juga sudah sangat memahami kebutuhan para pencinta Jogja dengan menyediakan paket jasa transportasi sehari penuh mengunjungi Borobudur, Prambanan, Keraton, Taman Sari dan Parang Tritis, walapun ada satu atau dua tempat tersebut yang terpaksa harus terlewatkan karena sempitnya waktu dalam sehari.

Pemandangan di Borobudur
Lelah mendaki tangga Borobudur terobati oleh keindahan candinya beserta pemandangan di sekitar candi yang hijau. Sepertinya setiap sudut sayang untuk dilewatkan mengambil gambar dengan stupa stupa indah yang ada di setiap tingkat pelataran candi yang membuat kita akan terus mendaki hingga puncaknya.

Borobudur  seperti benda aneh di selah selah gunung yang dipenuhi oleh para wisatawan dalam dan luar negri yang berfoto sambil terkagum kagum melihat sebuah bangunan megah yang berdiri kokoh menembus masa. Membayangkan cara membangun Borobudur seperti menghayalkan sebuah misteri, bagaimana cara batu demi batu tersebut dikumpulkan dan disusun dengan rapi dan indah. Tidak roboh dan tidak lepas satu dengan lainnya.

Selain kemegahan dan kekokohan bangunannya, arsitektur Borobudur juga mengundang decak kagum. Penempatan menara-menara stupa yang diselingi dengan ruang pelataran untuk berjalan membawa kita seakan masuk dunia lain setelah berhasil mendaki tangganya. 




Wednesday, March 26, 2014

Mayat Berjalan Vs Budaya Ma'pasonglo' Toraja

Jauh sebelum saya melihat foto upacara ma'nene' di Toraja yang beredar di milis dan akhirnya berkembang menjadi artikel yang beredar luas di internet, saya sebenarnya sangat malas jika ditanya tentang "mayat berjalan" di Toraja yang saya sendiri secara pribadi tidak mempercayainya. Kebanyakan orang kalau mendengar kata Toraja secara spontan menghubungkannya dengan cerita "mayat berjalan".

Kemunculan foto upacara ma'nene' (penggantian baju jenazah) seolah-olah menjawab rasa penasaran banyak orang yang suka hal hal horor dan mencari tahu tentang "mayat berjalan" di Toraja. Padahal dari milis, blog, hingga note facebook, foto dan keterangan gambar tidaklah sama. Foto adalah upacara ma'nene' dan keterangan gambar adalah tentang "mayat berjalan".

Nama Toraja yang dari dulu dikenal sebagai daerah tujuan wisata karena budayanya yang unik, alamnya yang indah dan sejuk, objek wisatanya yang sangat menarik hingga masyarakatnya yang mempertahankan nilai nilai budaya yang sangat bermanfaat dalam keberlangsungan hidup seolah-olah mendapat julukan baru, Toraja adalah tempatnya "mayat berjalan".

Saya yang lahir dan besar di Toraja memang pernah mendengar berita itu karena beritanya berkembang dari mulut ke mulut namun tidak pernah melihat mayat berjalan. Cerita "mayat berjalan" juga bukan cerita yang diturunkan dari generasi di atas saya, kakek/nenek atau orang tua saya.

Dalam Legenda Lakipadada, ada banyak kisah yang tak diterima logika seperti dalam perjalanannya,  nenek moyang orang Toraja tersebut menempuh perjalanan dengan menggantung pada kaki burung. Namun karena diterima sebagai sebuah legenda maka cerita tersebut tidak menimbulkan perdebatan. Legenda adalah cerita masa lalu yang erat kaitannya dengan sejarah namun sudah mengalami distorsi. Sehingga sama seperti legenda yang ada di daerah lainpun, maka Legenda Lakipadada juga tidak mengundang perdebatan.

Cerita "mayat berjalan" sendiri sebenarnya masuk kategori isu. Isu bisa saja fakta dan bisa seratus persen kebohongan. Kalaupun itu memang fakta maka jika kita mencoba menganalisa kenapa mayat bisa berjalan maka kita dengan mudah menyimpulkan bahwa mayat bisa berjalan karena ada kekuatan dari kuasa kuasa gelap yang mampu menggerakkan jenazah tersebut. Jadi jika kita membahas tentang cerita "mayat berjalan" maka tidak bisa diidentikkan dengan suku tertentu termasuk Toraja. Kalaupun kejadiannya ada di Toraja itu hanya tempatnya yang kebetulan di mana  kebenaran cerita itupun belum bisa dibuktikan.

Jika kita tahu budaya Toraja yang sebenarnya maka cerita "mayat berjalan" berbenturan dengan fakta budaya Toraja yakni ma'pasonglo'. Ma'pasonglo' adalah atraksi budaya dengan memikul jenazah yang dibalut kain atau ditaruh dalam peti mayat disertai dengan ornamen yang sarat dengan makna. Kerbau-kerbau yang disembelih dalam upacara kematian diikutsertakan. Keluarga dengan pakaian serba hitam berbaris di depan sambil memegang kain berwarna merah membentang dari depan hingga belakang dengan ujungnya diikat pada lakkian, tempat menaruh jenazah. Lakkian tersebut dipikul ramai ramai oleh kaum lelaki dari keluarga jenazah. Dari jauh akan tampak seolah olah bentangan kain berwarna merah tersebut menarik lakkian.

Walaupun saya tak mampu menjelaskan secara detail apalagi menjelaskan maknanya namun bisa mengatakan bahwa tidak ada kesan seram yang ditimbulkannya dan mayatnya bergerak mengikuti ke mana bentangan kain merah bergerak bukan karena berjalan sendiri tetapi karena ada yang memikul jenazah sambil berjalan. Sangat bertolak belakang dengan artikel "mayat berjalan" yang beredar di internet yang  dibawa ke nuansa horor. Fakta adanya budaya ma'pasonglo' adalah bukti kalau "mayat berjalan" bukan bagian dari budaya Toraja.

Sebenarnya sudah ada yang mencoba menjelaskan yang sebenarnya dengan berkomentar maupun dengan artikel namun seakan tak mampu mematahkan nuansa horor yang sudah telanjur meledak sebelumnya.

Biarkan waktu yang akan menjawab, karena budaya ma'pasonglo' sudah menjadi tradisi yang berlangsung turun temurun dari generasi ke generasi sedangkan cerita mayat berjalan hanyalah isu kecil yang sempat meledak sejenak karena kecanggihan dunia maya.

Thursday, September 26, 2013

Wisata Gunung di Toraja

singki' rantepao photo 1.jpg

Gambar ini diambil di atas salah satu dari sekian gunung yang mengelilingi Kota Rantepao di Kabupaten Toraja Utara Sulawesi Selatan. Gunung yang puncaknya paling dekat dari pusat Kota Rantepao ini dikenal oleh masyarakat dengan nama Gunung Singki'. Bagaimana ceritanya saya sampai ke atas ?

Dalam sebuah event besar di Toraja yakni perayaan 100 tahun Injil Masuk Toraja (IMT) di mana dalam pelataran sebuah gereja tua di Rantepao, event tersebut dimeriahkan dengan berbagai atraksi dan menjadi sebuah tontonan yang sangat ramai.

Di sela sela keramaian yang dimeriahkan dalam pelataran di mana berdiri bangunan dan pondok dengan model rumah Tongkonan Toraja tersebut, saya sempat melayangkan mata ke atas dan tampaklah oleh mata saya sebuah salib raksasa yang baru pertama kalinya saya lihat setelah sekian lama tidak menginjak Toraja tanah kelahiran saya. Sebuah salib yang berdiri di atas gunung.

Yang membuat saya semakin tertarik ternyata di sekitar lokasi salib tersebut ada banyak orang sedang berdiri bahkan seolah olah turut menyaksikan ke bawah pelataran gereja di mana puncak acara IMT sedang berlangsung.

Di saat acara yang cukup meriah tersebut istirahat untuk makan siang, teman saya seolah menawarkan sebuah tantangan untuk mendaki ke Gunung Singki' bergabung dengan orang orang yang tampaknya begitu asyik sedang menikmati indahnya Kota Rantepao dari atas gunung tersebut.

Tempat yang sekilas dekat dari pandangan mata tersebut ternyata lumayan melelahkan untuk didaki dengan  naik dari balik gunung tersebut melewati tangga dengan anak tangganya yang berukuran besar.

Sebuah olah raga yang lumayan berat saya telah lakukan setelah sampai ke atas puncak Singki' dengan nafas terengah engah dan tubuh bermandikan keringat. Namun perasaan melelahkan tersebut terobati oleh sebuah keindahan.


Selain bangga karena bisa menginjakkan kaki di pelataran monumen yang sepertinya akan menjadi ikon kota Rantepao juga keceriaan bersama oleh para perantau Toraja dari berbagai penjuru yang seolah olah tertipu oleh Salib Raksasa Singki' yang tampaknya dekat dari pandangan mata namun cukup melelahkan untuk didaki.  Bebeberapa orang berusia lanjutpun terpaksa harus berhenti sejenak sambil mencicil tangga demi tangga mencapai puncak Singki'.

 photo 3.jpg
Keindahan Kota Rantepao secara menyeluruh tampak dari atas gunung ini. Sebuah kota yang dibangun di lembah yang dikelilingi oleh hamparan sawah yang hijau dan dialiri Sungai Sa'dan.

Selain wisata budaya dan wisata alam berupa kuburan Toraja yang unik dan memang sudah dikenal dunia dari dulu, tampaknya Toraja juga masih menyimpan potensi lain yakni berwisata ke gunung gunungnya yang dikenal berbatu dan menjulang tinggi.

Selain monumen salib raksasa Singki' di Rantepao, di kota kembarnya yakni Makale di sebelah selatan, ibukota Kabupaten Tana Toraja juga akan segera dibangun patung Yesus raksasa di Bukit Burake.

Pembangunan kedua monumen ini sepertinya akan menjadi perintis dikembangkannya potensi wisata gunung di Toraja yang memang sangat indah. Dalam sebuah obrolan dengan seorang teman di situs jejaring sosial, teman tersebut baru saja mendaki ke sebuah gunung yang menghadap ke Kota Makale yakni Pango-pango. Beliau sepertinya sedang mencari tanah di atas gunung yang harganya bisa melambung jika trend wisata gunung di Toraja menjadi kenyataan.

Kondisi gunung di Toraja yang kebanyakan terdiri dari dinding dinding batu adalah lahan berpondasi kokoh untuk membangun gedung. Sehingga pembangunan gedung gedung otomatis akan ramah dengan lingkungan karena tidak berdampak longsor.

Ada banyak pendapat yang mengatakan kalau suhu udara dilembah Makale dan Rantepao tidak sedingin dulu lagi sebagai dampak dari pemanasan global. Kondisi  suhu seperti inilah yang bisa mendorong lebih berkembangnya wisata gunung di Toraja.

Saturday, September 14, 2013

Pesona Pasangkayu

 photo WP_20130715_011.jpg

Perjalanan saya kali ini adalah rute Toraja - Pasangkayu. Toraja adalah daerah tujuan wisata di Sulawesi Selatan sedangkan Pasangkayu adalah ibu kota Kabupaten Mamuju Utara yang baru dibentuk bersamaan dengan dibentuknya Propinsi Sulawesi Barat yang merupakan hasil pemekaran dari Propinsi Sulawesi Selatan.

Saat menempuh perjalanan ini, belum ada   rute angkutan yang menghubungkan langsung Toraja dengan Pasangkayu. Perjalanan harus berganti bus di Pinrang, yang bisa juga dilakukan di daerah sekitar  Mamasa atau Mamuju, atau langsung menunggu bis di jalur lintas barat poros Palu - Makassar.

Ruas jalan yang cukup berat yang harus dilewati adalah ruas Pinrang - Pasangkayu di mana Pasangkayu berada pada posisi sebelum Kota Palu. Perjalanan dari Pasangkayu ke Kota Palu kira kira masih tiga jam lagi.

Lintas barat Sulawesi sendiri melewati kota kota antara lain sebagai berikut jika start dari Makassar :

Makassar
Maros
Pangkajene
Pare-pare
Pinrang
Mamuju
Trailu
Topoyo
Karossa
Bambaloka
Tikke
Pasangkayu
Donggala
Palu

Adapun bus yang saya tumpangi adalah bus rute Pinrang - Palu.

Tak terbayangkan oleh saya sebelumnya kalau jalur Pinrang - Pasangkayu ditempuh sekitar 17 jam karena jika dilihat sepintas di peta perkiraan saya tak jauh berbeda dengan rute Toraja - Makassar yang ditempuh cukup delapan jam.

Posisi Kota Pasangkayu ternyata jauh di utara bahkan sudah dekat ke Donggala di Sulawesi Tengah. Saya jadi bingung jika membayangkan Kota Pasangkayu pada saat belum dimekarkan dari Propinsi Sulawesi Selatan di mana pada saat itu pula jalur lintas barat Trans Sulawesi belum dibangun. Dari Makassar, kota ini sangat jauh terpencil tak terjangkau namun cukup dekat dengan Palu ibu kota Sulawesi Tengah

Terbentuknya Propinsi Sulawesi Barat bersamaan dengan dibentuknya Kabupaten Mamuju Utara dan beroperasinya lintas barat Trans Sulawesi yang melintasi Kota Pasangkayu, seakan membuka mata banyak orang kalau di pesisir pantai barat Sulawesi ini tersimpan "harta karun" yang sebelumnya tak tersentuh. Harga tanahpun melonjak terutama di sisi jalan lintas barat di mana pantai dan hamparan perkebunan kelapa sawit saling bersebelahan.


 photo WP_20130716_008.jpg

Kondisi jalan yang cukup lebar dan sepi menyusuri pantai yang diselingi gunung gunung tinggi membuat perjalanan cukup menegangkan saat bus merangkak pada tanjakan tanjakan tajam seakan tak berujung, namun pesona laut dan hijaunya gunung yang ditumbuhi kelapa sawit membentuk panorama alam yang sangat indah. Warung makan masih sulit ditemui di sepanjang pesisir ruas jalan ini karena kondisi jalan yang masih sepi. Bekal harus mencukupi agar tidak kehabisan sebelum tiba di tujuan. Masih ada beberapa titik yang rawan longsor dan bisa menambah lama perjalanan.

Perjalanan yang dimulai pukul 19:00 dari Kota Pinrang akhirnya tiba di Pasangkayu sekitar pukul 12:00. Kota Pasangkayu adalah kota pantai dengan garis pantai yang cukup panjang dan masih bersih di mana nelayanpun masih tetap menangkap ikan di pantai di mana tinggal menunggu waktu, Pantai Pasangkayu akan menjadi objek wisata yang cukup terkenal.

Di pantai Pasangkayu pula berdiri rumah dinas Bupati Mamuju utara di atas gunung menghadap ke laut.
 photo WP_20130718_039.jpg
 photo WP_20130718_052.jpg

Kenapa Dengan Film Filosofi Kopi 2 ?

Berita kehadiran Luna Maya di Toraja yang  menyebar lewat situs dan jejaring sosial, berkembang seakan-akan memberitakan bahwa ada film ...