Banjir kali ini mengingatkan kembali akan kisah yang saya alami pada banjir tahun lalu (2013). Saya baru bergegas pulang dari kantor di Jalan Yos Sudarso Sunter menjelang larut malam. Angkutan umum dan ojek sudah tidak ada. Sebenarnya Metromini 07 sudah bisa menembus genangan air yang perlahan surut, namun tidak beroperasi 24 jam. Sedangkan taksi sendiri belum berani menembus ruas jalan yang dikenal begitu mudah digenangi air walaupun hujan hanya beberapa saat. Mau minta tolong ke teman kerja juga sulit karena semuanya berhadapan dengan persoalan banjir Jakarta yang sempat menewaskan beberapa orang di basement UOB Jalan MH Thamrin. Sepertinya tidak ada pilihan lain selain menembus genangan air berjalan kaki dari Gedung Certis ke depan ITC Cempaka Mas mencari angkutan untuk pulang.
Dengan tenaga yang tersisa setelah seharian dihajar habis oleh customer di kantor karena beberapa rekan kerja yang sudah terbiasa melakukan tugas yang saya gantikan pada hari itu tidak bisa masuk karena mengalami musibah banjir. Kring krang dering telpon yang berlanjut dengan caci maki customer bak serbuan tanpa henti mengarah ke pesawat di meja saya karena sepertinya staf di divisi lain juga ada yang tidak masuk. Hal itu membuat saya sampai lupa urusan makan. Lagipula pada hari tersebut begitu sulit, menemukan penjual makanan di sekitar kantor. Mungkin karena kebanjiran, mungkin juga tidak menjual karena memang tidak ada pembelinya. Tak terasa, kondisi saya yang bekerja kayak robot yang dikendalikan penuh dering telpon dari customer telah berlangsung dari pagi hingga menjelang tengah malam.
Yang aneh perut tidak merasakan lapar selama bekerja, namun hanya rasa takut terserang penyakit. Mungkin karena otak saya tak sempat memikirkan perut saya. Saya masih ingat ada donat jatah staf lain yang saya lahap habis karena satu donat yang disediakan kantor sepertinya belum cukup untuk mengalas perut kosong saya.
Stress karena tekanan dari customer yang tiada hentinya pada hari itu membuat saya lupa kalau untuk berjalan kaki menyusuri ruas jalan antara Gedung Certis hingga ITC Cempaka Mas, dibutuhkan keberanian ekstra walaupun di hari biasa saya biasa berjalan bersama teman kantor melewati jalan tersebut sepulang kerja untuk menyehatkan badan.
Sisi jalan yang saya telusuri sekitar pukul dua dini hari tersebut seperti disulap menjadi jalan yang cukup menyeramkan. Genangan air sudah tak setinggi paha lagi namun saya tahu di situ banyak lubang lubang dalam yang tertutupi genangan air. Saya harus berhati-hati dan mencoba mengingat di mana lobang lobang tersebut berada.
Ketakutan semakin menjadi jika melewati kavling yang masih kosong yang ditumbuhi oleh semak yang sedang tergenang air. Bayangan buruk menghantui, bagaimana jika ada binatang air ganas yang mencoba menyerang saya dari semak semak. Kondisi sisi sebelah barat ruas Yos Sudarso tanpa kios dan pemukiman itu benar benar menakutkan. Yang ada hanya bangunan kantor yang berselang seling dengan kavling kosong.
Puncak ketakutan saya terjadi saat di jarak sekitar seratus meter tampak bayangan hitam yang mendekat ke arah saya. Saya sendiri tak pernah melihat hantu seperti yang diceritakan oleh teman teman di kantor saya, Gedung Certis kalau hampir di setiap lantainya ada penghuni mahluk halus. Yang saya paling takutkan adalah kejahatan yang sering dialami oleh rekan kerja di sekitar ruas jalan Yos Sudarso yang sangat rawan di malam hari. Bahkan pagi pagi sebelum turun dari Metro Mini 07, saya pernah kecopetan handphone. Ketakutan saya menjadi anti klimaks setelah bayangan tersebut semakin mendekat dan tampak oleh mata saya, orang itu ternyata membawa jala ikan. (Ah, ternyata penjala ikan, tak mungkin jahat)
Perjalanan menakutkan dan melelahkan dengan perut yang baru terisi dua donat menu makan malam akhirnya tiba juga di depan Gedung AHM (Astra Honda Motor). Namun penjual makanan yang biasanya berderet penuh tidak ada. Hanya ada satu gerobak penjual makanan dengan asap yang mengepul dalam dinginnya malam, menambah rasa lapar saya. Namun tiba tiba, karyawan Astra berseragam putih berlarian dari dalam gedung Astra mengerumuni satu satunya penjual makanan tersebut. Sepertinya karyawan Astra Shift malam itu juga kuatir tidak menemukan penjual makanan.
Saya akhirnya tidak jadi membeli makanan tersebut dan melanjutkan kembali perjalanan, hingga di pojok jalan berikutnya saya menemukan warung mi instan dan beberapa tukang ojek yang sedang mangkal. Lewat pukul tiga pagi baru saya melanjutkan perjalanan pulang naik ojek namun bukan tarif biasa, tapi tarif banjir. Akhirnya menjelang pagi baru bisa istirahat.
Dengan tenaga yang tersisa setelah seharian dihajar habis oleh customer di kantor karena beberapa rekan kerja yang sudah terbiasa melakukan tugas yang saya gantikan pada hari itu tidak bisa masuk karena mengalami musibah banjir. Kring krang dering telpon yang berlanjut dengan caci maki customer bak serbuan tanpa henti mengarah ke pesawat di meja saya karena sepertinya staf di divisi lain juga ada yang tidak masuk. Hal itu membuat saya sampai lupa urusan makan. Lagipula pada hari tersebut begitu sulit, menemukan penjual makanan di sekitar kantor. Mungkin karena kebanjiran, mungkin juga tidak menjual karena memang tidak ada pembelinya. Tak terasa, kondisi saya yang bekerja kayak robot yang dikendalikan penuh dering telpon dari customer telah berlangsung dari pagi hingga menjelang tengah malam.
Yang aneh perut tidak merasakan lapar selama bekerja, namun hanya rasa takut terserang penyakit. Mungkin karena otak saya tak sempat memikirkan perut saya. Saya masih ingat ada donat jatah staf lain yang saya lahap habis karena satu donat yang disediakan kantor sepertinya belum cukup untuk mengalas perut kosong saya.
Stress karena tekanan dari customer yang tiada hentinya pada hari itu membuat saya lupa kalau untuk berjalan kaki menyusuri ruas jalan antara Gedung Certis hingga ITC Cempaka Mas, dibutuhkan keberanian ekstra walaupun di hari biasa saya biasa berjalan bersama teman kantor melewati jalan tersebut sepulang kerja untuk menyehatkan badan.
Sisi jalan yang saya telusuri sekitar pukul dua dini hari tersebut seperti disulap menjadi jalan yang cukup menyeramkan. Genangan air sudah tak setinggi paha lagi namun saya tahu di situ banyak lubang lubang dalam yang tertutupi genangan air. Saya harus berhati-hati dan mencoba mengingat di mana lobang lobang tersebut berada.
Ketakutan semakin menjadi jika melewati kavling yang masih kosong yang ditumbuhi oleh semak yang sedang tergenang air. Bayangan buruk menghantui, bagaimana jika ada binatang air ganas yang mencoba menyerang saya dari semak semak. Kondisi sisi sebelah barat ruas Yos Sudarso tanpa kios dan pemukiman itu benar benar menakutkan. Yang ada hanya bangunan kantor yang berselang seling dengan kavling kosong.
Puncak ketakutan saya terjadi saat di jarak sekitar seratus meter tampak bayangan hitam yang mendekat ke arah saya. Saya sendiri tak pernah melihat hantu seperti yang diceritakan oleh teman teman di kantor saya, Gedung Certis kalau hampir di setiap lantainya ada penghuni mahluk halus. Yang saya paling takutkan adalah kejahatan yang sering dialami oleh rekan kerja di sekitar ruas jalan Yos Sudarso yang sangat rawan di malam hari. Bahkan pagi pagi sebelum turun dari Metro Mini 07, saya pernah kecopetan handphone. Ketakutan saya menjadi anti klimaks setelah bayangan tersebut semakin mendekat dan tampak oleh mata saya, orang itu ternyata membawa jala ikan. (Ah, ternyata penjala ikan, tak mungkin jahat)
Perjalanan menakutkan dan melelahkan dengan perut yang baru terisi dua donat menu makan malam akhirnya tiba juga di depan Gedung AHM (Astra Honda Motor). Namun penjual makanan yang biasanya berderet penuh tidak ada. Hanya ada satu gerobak penjual makanan dengan asap yang mengepul dalam dinginnya malam, menambah rasa lapar saya. Namun tiba tiba, karyawan Astra berseragam putih berlarian dari dalam gedung Astra mengerumuni satu satunya penjual makanan tersebut. Sepertinya karyawan Astra Shift malam itu juga kuatir tidak menemukan penjual makanan.
Saya akhirnya tidak jadi membeli makanan tersebut dan melanjutkan kembali perjalanan, hingga di pojok jalan berikutnya saya menemukan warung mi instan dan beberapa tukang ojek yang sedang mangkal. Lewat pukul tiga pagi baru saya melanjutkan perjalanan pulang naik ojek namun bukan tarif biasa, tapi tarif banjir. Akhirnya menjelang pagi baru bisa istirahat.
No comments:
Post a Comment