Jika perkalian 4x6 dengan 6x4 saja diperdebatkan bagaimana dengan ratusan soal psikotest yang
menjadi penentu nasib para pencari kerja ?
Muhammad Erfas Maulana, seorang mahasiswa Teknik Mesin Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang memposting foto catatan
matematika adeknya Habibi, seorang pelajar Sekolah Dasar (SD) ke situs jejaring
sosial. Ia memprotes penilaian dari guru matematika terhadap pekerjaan rumah sang adek. Postingan
tersebut menyebar hingga sempat menjadi perhatian Astronom Thomas Djamaludin
(sekaligus kepala LAPAN = Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional ), Fisikawan
Yohanes Surya dan dosen matematika ITB Iwan Pranoto.
Dalam soal psikotest sendiri ada kategori soal yang hampir sama
dengan matematika SD tetapi harus dijawab dalam hitungan waktu yang singkat.
Jika pelajaran matematika SD saja menimbulkan perbedaan jawaban
dari para pakar di atas, bagaimana dengan ratusan soal psikotest ? Tak akan
terbayang hebatnya perdebatan antara pencari kerja dengan pihak recruitment
perusahan sekiranya dibahas.
Menurut saya sendiri ada sebagian soal psikotest bermasalah bahkan
terkesan misterius. Kenapa ? Karena banyak pertanyaan yang timbul bisa
mempunyai banyak jawaban namun hanya ada satu jawaban akan dibenarkan yakni jawaban
yang ada dalam pikiran si pembuat soal itu sendiri.
Mungkin inilah pertimbangannya sehingga ada sebagian
perusahaan tidak menggunakan psikotest dalam recruitment dan cukup memberikan
soal langsung dengan contoh kasus yang real terjadi jika nantinya bekerja.
Coba kita simak lebih jauh jenis soal psikotest melengkapi
deretan gambar misalnya. Soal psikotest tersebut menanyakan gambar yang mana
yang benar untuk ditempatkan pada deretan terakhir. Untuk soal yang masih mudah
memang jawabannya masih mudah disepakati. Namun untuk tingkatan yang lebih
rumit semakin sulit menemui kesepakatan gambar mana yang lebih tepat. Jadi yang
menjadi poin dari soal tersebut adalah masalah kesepakatan. Tidak ada jawaban
yang benar benar mutlak namun disajikan dalam model ujian yang menuntut bahwa
hanya ada satu jawaban benar.
Dalam sebuah buku latihan psikotest dan pembahasan jawaban
soal psikotest ternyata alasan atau dasar memilih gambar yang paling tepat
sangat parsial dan subjektif. Seakan akan logika manusia itu dipaksakan sama
sehingga yang berpikir berbeda akan dianggap bodoh. Bagaimana dengan orang
orang yang berjiwa kreatif. Banyak hal yang secara umum akan sama jawabannya
akan tetapi bagi yang memiliki jawaban berbeda tidak bisa disalahkan. Jangan
jangan justru karena lebih cerdas sehingga seseorang memiliki jawaban sendiri.
Dalam sebuah psikotest melengkapi deretan gambar saya pernah
mendapati kondisi lembaran lembaran soal yang tidak jelas gambarnya karena kertas
cetakan yang tidak berkualitas padahal untuk menjawab soal tersebut, ukuran
bagian gambar sebesar tanda titik dan koma saja harus benar benar diperhatikan.
Hilangnya bagian bagian terkecil dari gambar akan sangat berpengaruh pada
jawaban soal.
Pengalaman itu mengundang pertanyaan di benak saya, apakah
psikotest tersebut hanyalah formalitas belaka bagi perusahaan untuk menjaga
image.
Durasi waktu menyelesaikan soal psikotest juga sangat
singkat sehingga mustahil ada yang mampu membaca seluruh soal. Kemungkinan sistem
penilaian yang digunakan ditarget, pada nilai berapa seseorang dianggap lulus. Jika
tidak ada maka perusahaan akan mengundang lagi barisan pencari kerja yang melimpah
ruah di negeri ini. Namun lagi lagi apakah memang benar kalau dari hasil
psikotest seseorang tidak dipanggil kembali untuk mengikuti tahap berikutnya ? Entahlah.
Masalahnya hampir seluruh perusahaan tidak pernah memberikan hasil psikotest
kepada para pencari kerja. Sehingga yang tidak lulus psikotest juga tidak
pernah tahu kelemahan di mana yang perlu diperbaikinya untuk test selanjutnya
di perusahaan lain. Bahkan terkadang pencari kerja tidak tahu sama sekali di tahap
mana dia bermasalah, apakah di verifikasi data, interview, psikotest, negosiasi
gaji dan lain-lainnya.
Fakta ini juga menguatkan saya kalau mungkin sebagian
perusahan menjadikan psikotest hanyalah formalitas belaka untuk menyempurnakan
pembenaran akan proses rekruitmen yang mereka selenggarakan sehingga jika ada hal
janggal dalam seluruh tahap maka kejanggalan tersebut akan dilemparkan ke nilai psikotest yang
misterius tadi. Sebagaimana hasil psikotestnya demikian juga standart kelulusannya, tidak ada yang mengetahuinya.
Saat perusahaan telah menemukan yang dianggapnya tepat maka
tidak ada lagi kepedulian terhadap pencari kerja yang tidak lulus. Para pencari
kerja akan terus meraba kembali tanpa mengetahui kelemahan apa yang perlu
diperbaikinya.
Fakta ini menunjukan kalau perusahaan tersebut tidak peduli
dengan lingkungan sekitarnya. Jika terhadap manusianya saja yang sempat dijadikan
lahan merekrut pekerja tidak dipedulikan, bagaimana dengan alam di
sekitarnya ? Berita mengenai pembuangan limbah dari perusahaan yang mencemari
dan merusak lingkungan sudah sering kita dengar.
Kembali ke masalah 4x6 dan 6x4. Fakta ini mengingatkan
apakah proses belajar dan mengajar sudah berjalan ke arah pencerdasan ? Jangan
jangan pembelajaran ternyata perbodohan. Jika sang anak memulai sekolah dengan
kepercayaan diri akan kecerdasannya namun saat tamat berkata pada dirinya sendiri, "ternyata
saya bodoh", bagaimana ?
Penggalian bakat dan kemampuan tidak berjalan namun yang
terjadi justru penanaman rasa kurang percaya diri seseorang yang dinilai tak
akan mampu menyelesaikan persoalan. Kalau di lingkungan pelajar ada banyak
masalah seperti yang terjadi dalam kasus Habibi di atas maka di lingkungan kelompok
siap bekerja juga mengalami banyak persoalan di setiap tahap recruitment dengan
menilai mereka hanya atas dasar ujian "super singkat" yang kita sebut
psikotest.
Saat ini juga ada trend memberikan psikotest bagi anak belia.
Pelajar SD dan SMP. Hasilnya bisa membahayakan bagi perkembangan diri sang anak
itu sendiri. Di saat psikotest seperti disakralkan, maka apapun informasi hasil
test yang diberikan akan dipercaya mentah-mentah.
Mendapatkan nilai rendah akan menyurutkan diri sang pelajar.
Perasaan bodoh akan tertanam dalam jiwanya di saat guru dan orang tuanya
sendiri belum menemukan kelebihan dan potensi dalam diri sang anak. Hindarilah psikotest
dan lebih baik cari dan gali kehebatan dalam dirinya.
Sekian