1

Friday, September 26, 2014

Tragis Psikotest

Jika perkalian 4x6 dengan 6x4 saja diperdebatkan  bagaimana dengan ratusan soal psikotest yang menjadi penentu nasib para pencari kerja ?

Muhammad Erfas Maulana, seorang mahasiswa Teknik Mesin Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang memposting foto catatan matematika adeknya Habibi, seorang pelajar Sekolah Dasar (SD) ke situs jejaring sosial. Ia memprotes penilaian dari guru matematika terhadap pekerjaan rumah sang adek. Postingan tersebut menyebar hingga sempat menjadi perhatian Astronom Thomas Djamaludin (sekaligus kepala LAPAN = Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional ), Fisikawan Yohanes Surya dan dosen matematika ITB Iwan Pranoto.

Dalam soal psikotest sendiri ada kategori soal yang hampir sama dengan matematika SD tetapi harus dijawab dalam hitungan waktu yang singkat.

Jika pelajaran matematika SD saja menimbulkan perbedaan jawaban dari para pakar di atas, bagaimana dengan ratusan soal psikotest ? Tak akan terbayang hebatnya perdebatan antara pencari kerja dengan pihak recruitment perusahan sekiranya dibahas.

Menurut saya sendiri ada sebagian soal psikotest bermasalah bahkan terkesan misterius. Kenapa ? Karena banyak pertanyaan yang timbul bisa mempunyai banyak jawaban namun hanya ada satu jawaban akan dibenarkan yakni jawaban yang ada dalam pikiran si pembuat soal itu sendiri.

Mungkin inilah pertimbangannya sehingga ada sebagian perusahaan tidak menggunakan psikotest dalam recruitment dan cukup memberikan soal langsung dengan contoh kasus yang real terjadi jika nantinya bekerja.

Coba kita simak lebih jauh jenis soal psikotest melengkapi deretan gambar misalnya. Soal psikotest tersebut menanyakan gambar yang mana yang benar untuk ditempatkan pada deretan terakhir. Untuk soal yang masih mudah memang jawabannya masih mudah disepakati. Namun untuk tingkatan yang lebih rumit semakin sulit menemui kesepakatan gambar mana yang lebih tepat. Jadi yang menjadi poin dari soal tersebut adalah masalah kesepakatan. Tidak ada jawaban yang benar benar mutlak namun disajikan dalam model ujian yang menuntut bahwa hanya ada satu jawaban benar.

Dalam sebuah buku latihan psikotest dan pembahasan jawaban soal psikotest ternyata alasan atau dasar memilih gambar yang paling tepat sangat parsial dan subjektif. Seakan akan logika manusia itu dipaksakan sama sehingga yang berpikir berbeda akan dianggap bodoh. Bagaimana dengan orang orang yang berjiwa kreatif. Banyak hal yang secara umum akan sama jawabannya akan tetapi bagi yang memiliki jawaban berbeda tidak bisa disalahkan. Jangan jangan justru karena lebih cerdas sehingga seseorang memiliki jawaban sendiri.

Dalam sebuah psikotest melengkapi deretan gambar saya pernah mendapati kondisi lembaran lembaran soal yang tidak jelas gambarnya karena kertas cetakan yang tidak berkualitas padahal untuk menjawab soal tersebut, ukuran bagian gambar sebesar tanda titik dan koma saja harus benar benar diperhatikan. Hilangnya bagian bagian terkecil dari gambar akan sangat berpengaruh pada jawaban soal.

Pengalaman itu mengundang pertanyaan di benak saya, apakah psikotest tersebut hanyalah formalitas belaka bagi perusahaan untuk menjaga image.

Durasi waktu menyelesaikan soal psikotest juga sangat singkat sehingga mustahil ada yang mampu membaca seluruh soal. Kemungkinan sistem penilaian yang digunakan ditarget, pada nilai berapa seseorang dianggap lulus. Jika tidak ada maka perusahaan akan mengundang lagi barisan pencari kerja yang melimpah ruah di negeri ini. Namun lagi lagi apakah memang benar kalau dari hasil psikotest seseorang tidak dipanggil kembali untuk mengikuti tahap berikutnya ? Entahlah. Masalahnya hampir seluruh perusahaan tidak pernah memberikan hasil psikotest kepada para pencari kerja. Sehingga yang tidak lulus psikotest juga tidak pernah tahu kelemahan di mana yang perlu diperbaikinya untuk test selanjutnya di perusahaan lain. Bahkan terkadang pencari kerja tidak tahu sama sekali di tahap mana dia bermasalah, apakah di verifikasi data, interview, psikotest, negosiasi gaji dan lain-lainnya.

Fakta ini juga menguatkan saya kalau mungkin sebagian perusahan menjadikan psikotest hanyalah formalitas belaka untuk menyempurnakan pembenaran akan proses rekruitmen yang mereka selenggarakan sehingga jika ada hal janggal dalam seluruh tahap maka kejanggalan tersebut akan dilemparkan ke nilai psikotest yang misterius tadi. Sebagaimana hasil psikotestnya demikian juga standart kelulusannya, tidak ada yang mengetahuinya.

Saat perusahaan telah menemukan yang dianggapnya tepat maka tidak ada lagi kepedulian terhadap pencari kerja yang tidak lulus. Para pencari kerja akan terus meraba kembali tanpa mengetahui kelemahan apa yang perlu diperbaikinya.

Fakta ini menunjukan kalau perusahaan tersebut tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya. Jika terhadap manusianya saja yang sempat dijadikan lahan merekrut pekerja tidak dipedulikan, bagaimana dengan alam di sekitarnya ? Berita mengenai pembuangan limbah dari perusahaan yang mencemari dan merusak lingkungan sudah sering kita dengar.

Kembali ke masalah 4x6 dan 6x4. Fakta ini mengingatkan apakah proses belajar dan mengajar sudah berjalan ke arah pencerdasan ? Jangan jangan pembelajaran ternyata perbodohan. Jika sang anak memulai sekolah dengan kepercayaan diri akan kecerdasannya namun saat tamat berkata pada dirinya sendiri, "ternyata saya bodoh", bagaimana ?

Penggalian bakat dan kemampuan tidak berjalan namun yang terjadi justru penanaman rasa kurang percaya diri seseorang yang dinilai tak akan mampu menyelesaikan persoalan. Kalau di lingkungan pelajar ada banyak masalah seperti yang terjadi dalam kasus Habibi di atas maka di lingkungan kelompok siap bekerja juga mengalami banyak persoalan di setiap tahap recruitment dengan menilai mereka hanya atas dasar ujian "super singkat" yang kita sebut psikotest.

Saat ini juga ada trend memberikan psikotest bagi anak belia. Pelajar SD dan SMP. Hasilnya bisa membahayakan bagi perkembangan diri sang anak itu sendiri. Di saat psikotest seperti disakralkan, maka apapun informasi hasil test yang diberikan akan dipercaya mentah-mentah.

Mendapatkan nilai rendah akan menyurutkan diri sang pelajar. Perasaan bodoh akan tertanam dalam jiwanya di saat guru dan orang tuanya sendiri belum menemukan kelebihan dan potensi dalam diri sang anak. Hindarilah psikotest dan lebih baik cari dan gali kehebatan dalam dirinya.

Sekian


No comments:

Post a Comment

Kenapa Dengan Film Filosofi Kopi 2 ?

Berita kehadiran Luna Maya di Toraja yang  menyebar lewat situs dan jejaring sosial, berkembang seakan-akan memberitakan bahwa ada film ...