1

Tuesday, March 20, 2012

"Pasar" Kota Tua

Kota Tua juga bisa dijadikan tujuan berbelanja. Di hari hari biasa di halaman Museum Fatahillah terdapat penjual pakaian, sepatu, asesoris, obat, lampu lampu hias, tas dan lainnya oleh para pedagang dengan menggelar tikar di halaman terbuka walaupun harus selalu was was jika musim hujan karena minim tempat untuk berteduh.

Sedangkan di hari hari tertentu sering diadakan event bazar yang biasanya diikuti oleh pedagang dengan skala yang lebih besar. Ciri khas dari para pedagang berskala besar yang saya maksud adalah dengan membangun tenda tenda sehingga kehadiran mereka lebih terkesan ekslusif. Berbagai penawaran yang lain sepeti tukang gigi, permainan, hingga tulang ramal cukup menambah komplit "Pasar" Kota Tua ini.

Kota Tua Kota Kuliner

Dalam Kompleks Kota Tua terdapat Cafe Batavia yang lebih banyak dikunjungi wisatawan asing. Cafe ini bersebelahan dengan sebuah minimart waralaba dengan barang dagangan yang lebih didominasi makanan dan minuman.
Di luar dari itu makananan yang dijual dalam Kompleks Kota Tua adalah makanan rakyat atau jajanan pasar dengan harga murah.
Halaman depan Museum Fatahillah yang lumayan luas dipenuhi oleh para penjual dengan menggelar tikar seadanya. Di sela sela penjual tersebut terdapat sebagian penjual makanan dan minuman ringan. Duduk lesehan sambil menikmati secangkir kopi di tempat ini sepertinya punya makna tersendiri dibandingkan ngopi di tempat lain. Dengan alam terbuka walaupun ubin tempat duduk terasa agak panas sisa terik matahari siang namun semua hal yang membuat pengap terbang dengan bebas ke langit terbuka sehingga hawa tempat menikmati makanan ini bisa dianggap sejuk alami untuk ukuran daerah tropis.
Di sekeliling pinggiran halaman Museum Fatahillah juga terdapat para penjual makanan mulai dari nasi goreng, nasi padang, sate padang, nasi pecel, gado gado, berjejer berselang seling. Harga makanan mungkin tidak jauh berbeda dengan harga makanan di sekitar lingkungan tempat tinggal kita.

Kota Tua Kota Seniman

Nuansa artistik begitu terasa jika menginjakkan kaki di Kota Tua Batavia. Sebut saja Gedung Museum Fatahillah yang merupakan bekas Balai Kota Jakarta. Ada juga gedung gedung yang sangat artistik di pinggir Kali Besar. Gedung gedung ini pastinya adalah gedung yang megah dan indah pada masa lalu di saat Kawasan Segitia Emas dan sekelasnya mungkin masih merupakan rawa atau hutan.
Panorama masa lalu ini sepertinya sudah menyebar dan melekat di hati para fotografer yang tak lain adalah wisatawan lokal yang panen objek pemotretan di setiap sudut Kota Tua. Setiap saat selalu tampak rombongan fotografer lengkap dengan peralatan dan foto modelnya. Setiap tempat di Kota Tua bisa menjadi latar pemotretan mereka.
Demikian pula dengan para pelaku sinema baik itu sutradara, kameramen hingga pemain cukup akrab dengan Kawasan Kota Tua sebagai lokasi syuting. Ada pula kelompok seniman lain walaupun kelasnya agak berbeda yakni pengamen yang jumlahnya lumayan banyak terutama di malam hari setelah turun dari kereta dan mengaso sejenak sambil sekali sekali mencari objek ngamen di sela sela kompleks Kota Tua.
Ada pula seni yang saya kurang senangi yakni seni menggambar di bagian tubuh tertentu alias tato. Para penawar jasa tato biasanya menggelar tikar di halaman Museum Fatahillah.
Layanan seni yang agak formal adalah pagelaran wayang yang jadwalnya dapat kita lihat di halaman Museum Fatahillah.

Kota Tua Kota Hantu

Sebagian Kota Tua terdiri dari bangunan tua yang kosong dan gelap sehingga bisa membuat bulu kuduk merinding, jangan jangan ada "penghuni"nya. Saya tak paham dunia hantu namun ada sebuah pendapat pada sebagian masyarakat bahwa setiap rumah yang ditinggalkan kosong dalam waktu yang cukup lama akan dimasuki oleh penghuni alam lain, hantu. Hal ini dikuatkan oleh fakta bahwa lokasi Kota Tua menjadi lokasi langganan syuting film film horor yang nilai pasarannya cukup tinggi dalam masyarakat Indonesia. Dari segi artistikpun memang bangunan tua sangat cocok menjadi latar pembuatan film horor. Sekedar info bahwa di dekat Kawasan Kota Tua pernah terjadi pembantaian terhadap etnis China yang dilakukan oleh VOC di Glodok, sebelah selatan Kawasan Kota Tua. Ribuan etnis China yang kebanyakan adalah pedagang dihabisi oleh VOC dan menurut sumber sejarah bahwa pembantaian tersebut menyebabkan Kali Besar menjadi merah darah. Mungkin tidak ada kaitannya sama sekali dengan Kota Tua yang seram yang saya maksud namun bayangan pembantaian tersebut bisa memberi andil akan bayangan Kota Tua yang telanjur dicap Kota Hantu bagi sebagian orang.

Kota Tua Kota Jorok

Menjelang maghrib di saat lampu lampu di sepanjang bantaran Kali Besar Kota Tua mulai menyala saat saya sedang duduk menghadap Kali Besar tiba tiba tampak di depan mata saya sampah sampah yang lumayan banyak terapung bergerak terbawa air kali. Saya cukup kaget walaupun saya tahu kalau memang Kali Besar sama saja dengan sungai yang lain yang ada di Jakarta yang akrab dengan sampah namun ternyata sampah sampah di kali pun ternyata ada saat saat di mana jumlahnya mencapai puncaknya. Kali Besar pun sepanjang hari mengeluarkan bau yang tidak sedap karena sampah. Sumber utama dari segala yang membuat Kota Tua jorok sebenarnya datang dari Kali Besar yang konon pada zaman Belanda merupakan pasokan air minum. Kota Tua juga jika dibandingkan dengan tempat wisata lainnya jauh lebih semrawut. Kota Tua diperlakukan seperti jalan jalan raya di Jakarta yang dibiarkan berhias sampah selama aktifitas masih berjalan. Baru setelah bersih dari pedagang kali lima pasukan petugas kebersihan kota dikerahkan yakni saat sejenak Kota Tua sepi pengunjung.
Namun faktanya kejorokan Kali Besar tidak berpengaruh pada sekian banyak pengunjung yang menghabiskan waktunya di Kota Tua dengan duduk berlama lama di bantaran Kali Besar.

Saturday, March 10, 2012

Sisa Peradaban

Lantas apakah sebenarnya yang menarik di kawasan Kota Tua. Kalau hanya sebatas jejak sejarah, apanya yang menarik. Bukankah ada Taman Mini Indonesia Indah, Kebun Binatang Ragunan, yang ditata untuk menjadi tempat yang nyaman untuk dikunjungi atau bermain. Atau monumen Gerakan 30 September di Pondok Gede yang lebih bernilai historis ? Sama sekali tidak bisa dibandingkan karena masing masing memiliki nilai lebihnya. Dibandingkan dengan objek wisata lainnya di Jakarta, Kota Tua adalah objek wisata yang tidak dibangun untuk tujuan wisata tetapi adalah sisa peradaban yang tentunya terbangun sendiri secara alami sesuai dengan kebutuhan pada masanya yang dijalani oleh sebuah kota yang kini telah menjadi kota tua.

Memasuki kawasan ini membawa kita ke suatu masa bahkan mungkin menggerakkan kita untuk membuka kembali buku sejarah yang sempat kita pelajari dengan bukti sejarah yang masih bisa kita saksikan.

Masa jaya yang telah berlalu

Menyusuri kompleks Kota Tua Jakarta sambil mengamati dinding serta kerangkanya sejenak akan membawa kita kepada suatu kehidupan yang bekasnya nyaris hilang. Faktanya memang kawasan ini seperti kota mati sebelum dicoba dipugar kembali di mana dampak dari pemugaran tersebut hasilnya dapat kita rasakan langsung jika memasuki kompleks ini. Semarak kehidupan pasar malam cukup mengangkat Kota Tua sebagai kawasan yang cukup diperhitungkan baik untuk berjualan ataupun untuk berbelanja walaupun mungkin hanya untuk kalangan menengah ke bawa.

Jika kita mencoba mengamati kembali gedung gedung tua di kompleks ini maka segala keprihatinan pun akan melanda pikiran kita karena pada faktanya masih ada bangunan bangunan di kota tua yang nyaris roboh. Walaupun di gedung gedung tersebut seakan bercerita akan masa di mana mereka pernah berjaya sebagai gedung gedung terbaik di Batavia.

Kenapa Dengan Film Filosofi Kopi 2 ?

Berita kehadiran Luna Maya di Toraja yang  menyebar lewat situs dan jejaring sosial, berkembang seakan-akan memberitakan bahwa ada film ...